Pengajuan Restitusi dan Kompensasi
[22/12 12.11] Panangian Simanjuntak: Cara Pengajuan Restitusi Dan Kompensasi Kepada Korban Tindak Pidana
04
Feb
Opini
Ditulis oleh adminpn
Tata Cara Pengajuan Restitusi Dan Kompensasi
Kepada Korban Tindak Pidana
(Catatan Singkat berdasarkan Perma No.1 Tahun 2022)
Oleh : Isabela Samelina, S.H.
Mahkamah Agung (MA) Republik Indonesia baru-baru ini telah menerbitkan Perma No.1 Tahun 2022 tentang Tata Cara Penyelesaian Permohonan dan Pemberian Restitusi dan Kompensasi kepada Korban Tindak Pidana. Perma ini telah ditandatangani pada tanggal 25 Februari 2022 oleh Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Prof. Dr. H. Muhammad Syarifuddin, S.H., M.H. dan resmi diundangkan pada tanggal 1 Maret 2022. Diterbitkannya Perma ini agar ada keseragaman dalam penerapannya dengan beberapa peraturan yang sudah ada sebelumnya, diantaranya : peraturan perundang-undangan yang mengatur restitusi dan kompensasi adalah Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Restitusi bagi Anak yang Menjadi Karban Tindak Pidana dan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2018 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2018 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan kepada Saksi dan Karban.
Perkembangan sistem peradilan pidana tidak hanya berorientasi kepada kepentingan pelaku, tetapi juga berorientasi kepada perlindungan korban. Setiap korban tindak pidana tertentu selain mendapatkan hak atas perlindungan, juga berhak atas Restitusi dan Kompensasi.
RESTITUSI
Adapun yang dimaksud dengan Restitusi adalah ganti kerugian yang diberikan kepada korban atau keluarganya oleh pelaku tindak pidana atau pihak ketiga.
Menurut Pasal 2 Perma No.1 Tahun 2022, tindak pidana yang dapat dimohonkan Restitusi adalah : Tindak pidana pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang berat, Terorisme, Perdagangan orang, Diskriminasi ras dan etnis, Tindak pidana terkait anak, serta tindak pidana lain yang ditetapkan dengan Keputusan LPSK sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bentuk Restitusi yang diberikan kepada korban tindak pidana menurut Pasal 4 Perma No.1 Tahun 2022 itu dapat berupa :
Ganti kerugian atas kehilangan kekayaan dan/atau penghasilan;
Ganti kerugian, baik materiil maupun imateriil, yang ditimbulkan akibat penderitaan yang berkaitan langsung sebagai akibat tindak pidana;
Penggantian biaya perawatan medis dan/ atau psikologis; dan/atau kerugian lain yang diderita Korban sebagai akibat tindak pidana, termasuk biaya transportasi dasar, biaya pengacara, atau biaya lain yang berhubungan dengan proses hukum.
Untuk mengajukan permohonan Restitusi harus memperhatikan persyaratan administratif permohonan yang diatur dalam Pasal 5 Perma No.1 Tahun 2022.dan Permohonan Restitusi harus dibuat tertulis dalam bahasa Indonesia, ditandatangani pemohon atau kuasanya dan diajukan ke Ketua/Kepala Pengadilan, baik secara langsung atau melalui LPSK, penyidik, atau penuntut umum. Jika korban adalah anak, permohonan diajukan oleh orang tua, keluarga, wali, ahli waris atau kuasanya, atau LPSK, dan dalam hal pemohon lebih dari satu orang, bisa dilakukan penggabungan permohonan.
Pengadilan yang berwenang mengadili permohonan Restitusi adalah Pengadilan yang mengadili pelaku tindak pidana, yaitu : Pengadilan Negeri, Pengadilan Hak Asasi Manusia, Pengadilan Militer, Pengadilan Militer Tinggi dan Mahkamah Syar’iyah.
Menurut Pasal 9 Perma No.1 Tahun 2022, permohonan Restitusi tidak menghapus hak korban, keluarga, ahli waris dan wali untuk mengajukan gugatan perdata, dalam hal :
Permohonan Restitusi ditolak karena terdakwa diputus bebas atau lepas dari tuntutan hukum; dan
Permohonan Restitusi dikabulkan dan terdakwa dihukum, akan tetapi terdapat kerugian yang diderita Korban yang belum dimohonkan Restitusi kepada Pengadilan atau sudah dimohonkan namun tidak dipertimbangkan oleh Pengadilan.
Ada dua cara korban tindak pidana dapat memperoleh Restitusi yakni : Pengajuan dan pemeriksaan permohonan Restitusi sebelum putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap, serta pengajuan dan pemeriksaan permohonan restitusi setelah putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap.
Menurut Pasal 12 Perma No.1 Tahun 2022, Permohonan Restitusi sebagaimana dimaksud dalarn Pasal 11 : Dapat diajukan oleh Pemohon kepada Pengadilan secara langsung atau melalui LPSK. Permohonan diajukan paling lama 90 (sembilan puluh) Hari sejak Pemohon mengetahui putusan Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.
Dalam proses Pemeriksaan di Persidangan, menurut pasal 14 Perma No.1 Tahun 2022 ;
(1). Hakim yang ditunjuk menetapkan Hari sidang pertama paling lama 2 (dua) Hari sejak menerima penetapan penunjukan, disertai dengan perintah kepada Pemohon dan Termohon untuk mempersiapkan alat bukti.
(2). Hakim mengirimkan salinan permohonan kepada Kejaksaan Agung/Kejaksaan Tinggi/Kejaksaan Negeri/Oditurat Militer setempat disertai panggilan untuk menghadiri sidang.
(3). Dalam hal ganti rugi akan dibayarkan oleh Pihak Ketiga, Pihak Ketiga tersebut wajib dihadirkan dalam sidang untuk dimintai persetujuannya.
(4). Panggilan sidang harus sudah diterima oleh Pemohon, Termohon, Jaksa Agung/Kejaksaan Tinggi/Negeri/Oditur Militer dan/ atau Pihak Ketiga dalam waktu paling lambat 3 (tiga) Hari sebelum persidangan.
(5). Dalam hal Pemohon atau Termohon tidak hadir pada Hari sidang pertama dan tidak mengirimkan kuasanya yang sah meskipun telah dipanggil secara sah dan patut, pemanggilan dilakukan 1 (satu) kali lagi.
(6). Dalam hal Pemohon tetap tidak hadir pada Hari sidang kedua, permohonan dinyatakan gugur.
(7). Dalam hal Termohon tetap tidak hadir pada Hari sidang kedua, pemeriksaan dilanjutkan tanpa hadirnya Termohon.
(8). Pemeriksaan persidangan meliputi :
pembacaan permohonan Pemohon;
pembacaan jawaban Termohon;
pemeriksaan alat bukti; dan
pembacaan penetapan.
(9). Pengadilan wajib memutus permohonan dalam bentuk penetapan paling lama 21 (dua puluh satu) Hari sejak sidang pertama.
(10). Ketentuan mengenai putusan Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (12) dan ayat (13) berlaku secara mutatis mutandis terhadap permohonan yang diajukan setelah adanya putusan Pengadilan berkekuatan hukum tetap.
(11). Upaya hukum terhadap penetapan Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (9) hanya dapat diajukan banding.
(12). Penetapan Pengadilan banding bersifat final dan mengikat.
KOMPENSASI
Adapun yang dimaksud dengan Kompensasi adalah ganti kerugian yang diberikan oleh negara karena pelaku tindak pidana tidak mampu memberikan ganti kerugian sepenuhnya yang menjadi tanggung jawabnya.
Permohonan kompensasi dapat diajukan oleh korban, keluarga, atau kuasanya dengan surat kuasa khusus. Permohonan kompensasi wajib diajukan melalui Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
Yang berhak mendapatkan kompensasi menurut Pasal 16 Perma Nomor 1 Tahun 2022 adalah : Korban pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat dan Korban tindak pidana Terorisme. Pengadilan yang berwenang mengadili permohonan kompensasi terhadap tindak pidana terorisme, adalah pengadilan sesuai tempat pelaku diadili, sedangkan Pengadilan yang berwenang mengadili permohonan kompensasi terhadap tindak pidana pelanggaran HAM berat adalah Pengadilan HAM.
Korban tindak pidana pelanggaran HAM berat dan Tindak Pidana Terorisme, bila merujuk pada Pasal 17 Perma No.1 Tahun 2022 berhak memperoleh kompensasi berupa :
- Ganti kerugiaan atas kehilangan kekayaan dan/atau penghasilan
- Ganti kerugiaan yang ditimbulkan akibat penderitaan yang berkaitan langsung sebagai akibat tindak pidana, termasuk luka atau kematian
- Penggantian biaya perawatan dan/atau pengobatan
- Kerugian materil dan imateril lain yang diderita korban sebagai akibat tindak pidana.
Bukan hanya itu, khusus bagi korban pelanggaran HAM berat, kompensasi dapat diberikan dalam bentuk non uang atau natura.
Pengajuan permohonan Kompensasi tidak seperti Restitusi yang dapat diajukan sebelum atau sesudah putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap, Permohonan Kompensasi hanya diajukan sebelum ada putusan pengadilan. Namun, ketentuan tersebut dikecualikan untuk :
- Korban merupakan korban tindak pidana terorisme yang pelakunya tidak diketahui atau meninggal dunia
- Korban merupakan korban tindak pidana terorisme yang terjadi di luar wilayah Indonesia.
Untuk permohonan Kompensasi perkara pidana tertentu, permohonan harus dilengkapi dengan :
surat keterangan dari penyidik yang menunjukkan pemohon sebagai Karban tindak pidana terorisme, dalam hal permohonan diajukan untuk tindak pidana terorisme;
surat keterangan dari Komnas HAM yang menunjukkan Pemohon sebagai Karban atau Keluarga, orang tua, wali atau ahli waris Karban pelanggaran hak asasi manusia yang berat, dalam hal permohonan diajukan untuk tindak pidana pelanggaran hak asasi manusia yang berat;
surat keterangan dari Perwakilan Republik Indonesia di luar negeri yang menyatakan bahwa yang bersangkutan adalah Karban berdasarkan ketentuan yang berlaku di negara tempat terjadinya tindak pidana terorisme, dalam hal permohonan diajukan untuk Warga Negara Indonesia Karban tindak pidana terorisme yang terjadi di luar wilayah Negara Republik Indonesia;
Dalam hal jumlah Pemohon lebih dari 1 (satu) orang, dapat dilakukan penggabungan permohonan. Permohonan Kompensasi hanya dapat diajukan pada pengadilan tingkat pertama.
Permohonan kompensasi terhadap tindak pidana terorisme yang pelakunya tidak diketahui atau meninggal, harus diajukan paling singkat / minimal 1 tahun sejak peristiwa terjadi, berdasarkan Pasal 19 ayat (2) Perma No.1 Tahun 2022;
Dalam proses Pemeriksaan Persidangan, menurut Pasal 25 ayat (6) Perma No.1 Tahun 2022, meliputi : a. pembacaan permohonan Kompensasi oleh LPSK; b. pemeriksaan alat bukti; dan c. pembacaan putusan.
dan dalam putusan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (6) huruf c tersebut wajib memuat amar :
menolak atau menerima permohonan Kompensasi;
menenma atau menolak, baik sebagian atau seluruhnya permohonan Kompensasi;
besaran Kompensasi yang harus dibayarkan LPSK.
Menurut Pasal 25 ayat (8) Perma No.1 Tahun 2022 Pengadilan wajib memutus permohonan paling lama 21 (dua puluh satu) Hari sejak pembacaan permohonan. Dan terhadap putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (8) hanya dapat diajukan upaya hukum banding. Putusan Pengadilan banding bersifat final dan mengikat.
Demikianlah tulisan singkat tentang tata cara pengajuan Restitusi dan Kompensasi kepada korban tindak pidana berdasarkan Perma No.1 tahun 2022, semoga dapat memberikan manfaat atau setidak-tidaknya pembaca dapat memperoleh gambaran secara umum tentang tata cara pengajuan Restitusi dan Kompensasi;
[22/12 12.33] panangiansimanjuntak9: Restitusi dalam perkara perdata adalah ganti rugi yang diberikan kepada korban tindak pidana atau keluarganya. Restitusi dapat berupa:
Ganti rugi atas kehilangan kekayaan atau penghasilan
Ganti rugi atas penderitaan yang berkaitan dengan tindak pidana
Penggantian biaya perawatan medis dan/atau psikologis
Biaya transportasi dasar
Biaya pengacara
Biaya lain yang berhubungan dengan proses hukum
Besarnya ganti rugi yang dibayarkan tergantung pada kerugian yang dialami korban dan keputusan pengadilan.
Berikut adalah beberapa hal yang perlu diketahui tentang restitusi:
Permohonan restitusi dapat diajukan sebelum atau sesudah putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap.
Permohonan restitusi harus diajukan secara tertulis kepada Ketua Pengadilan.
Permohonan restitusi harus memuat detail tentang korban, uraian tindak pidana, kerugian yang diderita korban, dan jumlah ganti rugi yang diminta.
Pengadilan yang berwenang mengadili permohonan restitusi adalah Pengadilan yang mengadili pelaku tindak pidana.
Jika permohonan diterima, terdakwa atau orang tuanya wajib melakukan pembayaran kepada korban atau keluarganya paling lambat 30 hari setelah menerima salinan putusan pengadilan.
[22/12 12.40] panangiansimanjuntak9: Pengertian dan Tujuan Pembayaran Ganti Rugi Korban Pidana
Restitusi memiliki arti pembayaran ganti rugi oleh para ter pelaku tindak kejahatan. Jumlah ganti rugi tersebut sesuai dengan keputusan pengadilan. Kerugian dari korban sendiri tidak hanya berupa materi saja namun juga immateriil.
Tak hanya sebagai kompensasi kerugian korban, pembayaran ganti rugi juga memiliki tujuan lainnya. Berikut penjelasan beberapa tujuan dari pembayaran ganti rugi untuk korban tindak pidana.
Membantu Mengembalikan Kondisi Korban seperti Sebelum Tindak Pidana
Seorang korban bisa menderita berbagai kerugian akibat tindak kejahatan. Misalnya saja jika mengalami serangan fisik, tidak hanya bisa mengalami trauma fisik tapi juga mental. Kondisi korban yang sebelumnya sehat secara fisik dan mental bisa mengalami gangguan akibat tindakan kejahatan. Orang yang sebelumnya bisa bekerja normal dapat terganggu atau bahkan tidak bisa bekerja lagi. Ganti rugi bisa membantu agar korban bisa kembali seperti kondisi semula.
Sebagai Bentuk Tanggung Jawab dari Pelaku
Ganti rugi juga bisa menjadi bentuk dari tanggung jawab. Pelaku tindak kejahatan harus bertanggung jawab atas apa yang mereka lakukan. Tanggung jawab ini tidak hanya berupa hukuman fisik tapi juga dengan mengeluarkan kekayaan untuk ganti rugi pada korban.
Bisa Membantu Pemulihan Korban Baik Fisik Maupun Psikis
Pemulihan korban membutuhkan biaya yang tak sedikit. Ini tak hanya terkait luka fisik tapi juga psikis. Korban seringkali membutuhkan perawatan dari trauma akibat tindakan kejahatan. Adanya uang ganti rugi tentunya bisa membantu pemulihan korban melalui perawatan medis.
Jenis dan Bentuk Restitusi Tindak Pidana
Tak semua jenis tindak pidana bisa ada proses permohonan ganti rugi. Sesuai dengan Perma No. 1 Tahun 2022, permohonan ganti rugi pada korban bisa untuk jenis tindak pidana berupa:
Pelanggaran Hak Asasi Manusia(HAM) yang berat.
Perdagangan orang.
Diskriminasi ras dan etnis.
Tindak pidana terkait anak.
Tindak pidana sesuai Keputusan LPSK.
Sedangkan bentuk pembayaran ganti kerugian korban tindak pidana, antara lain:
Ganti Kerugian Atas Kehilangan Kekayaan atau Penghasilan
Tindak pidana bisa mengakibatkan korban kehilangan kekayaan atau penghasilan. Korban bisa kehilangan harta atau tidak mendapatkan penghasilan seperti sebelumnya. Misalnya korban yang terluka parah tak bisa lagi kerja seperti biasa.
Ganti Rugi Akibat Penderitaan Langsung Baik Materi Maupun Non Materi
Tindak kejahatan bisa mengakibatkan kerugian langsung berupa materi atau non materi. Korban bisa menderita karena kehilangan uang atau penghasilan. Mereka juga bisa mengalami kerugian non materi seperti luka dan trauma.
Penggantian Biaya Perawatan Medis dan/atau Psikologis
Uang ganti rugi bisa membantu memenuhi biaya perawatan korban. Pelaku perlu bertanggung jawab untuk mengganti biaya perawatan akibat tindak pidana.
Kerugian Lainnya Akibat Tindak Pidana seperti Biaya Transportasi, Biaya Pengacara, atau Biaya Lain Terkait Proses Hukum
Korban dan keluarganya perlu mengeluarkan biaya terkait proses hukum pengurusan tindak pidana. Ini juga menjadi bagian kerugian yang pelaku perlu untuk menggantinya.
Proses Permohonan Ganti Rugi Korban Tindak Pidana
PP No. 35 Tahun 2020 mengatur tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban. Pelaku membayar ganti kerugian ini kepada korban atau keluarganya. Tata cara proses permohonan ganti rugi yaitu.
Permohonan Tertulis Menggunakan Bahasa Indonesia
Pengajuan ganti rugi menggunakan permohonan secara tertulis. Pemohon atau kuasa hukumnya menandatangani permohonan lalu mengajukan ke Ketua Pengadilan. Pengajuan ini bisa secara langsung atau melalui penyidik, penuntut umum, atau LPSK.
Orang tua atau wali bisa mengajukan permohonan jika korbannya anak. Jika korbannya lebih dari satu maka bisa melakukan penggabungan permohonan.
Isi dari Permohonan Ganti Rugi
Permohonan ganti rugi memuat detail tentang korban dan uraian tindak pidana. Ini juga berisi detail kerugian apa yang diderita oleh korban. Jumlah ganti rugi juga perlu ada dalam isi permohonan.
Kelengkapan Permohonan Ganti Rugi
Permohonan ganti rugi ini juga menyertakan dokumen kelengkapan. Dokumen untuk kelengkapan permohonan ini antara lain fotokopi identitas, bukti kerugian materiil, bukti biaya perawatan atau pengobatan korban, fotokopi surat kematian, jika korban meninggal dunia, dan lain-lain.
Pemeriksaan Berkas Permohonan oleh Hakim
Penuntut umum wajib menuliskan permohonan ganti rugi ini dalam tuntutan. Hakim akan memeriksa berkas permohonan restitusi lalu memberi penilaian hukum.
Putusan Hakim Atas Restitusi
Putusan hakim terkait permohonan ganti rugi ini memuat pernyataan apakah menerima atau tidak permohonan ganti rugi. Dalam hal ini juga menyebutkan alasan menerima atau menolak, apakah itu sebagian atau seluruhnya. Di dalam putusan tertulis besar pembayaran ganti rugi oleh terdakwa atau orang tua terdakwa.
Jadi putusan hakim terkait permohonan ganti rugi pada terdakwa bisa menerima atau menolak. Jika permohonan tersebut diterima maka selanjutnya terdakwa perlu melakukan pembayaran. Selain terdakwa sendiri, pembayaran juga bisa oleh pihak lain seperti orang tuanya.
Pembayaran ganti rugi pada korban ini paling lambat 30 hari setelah penerimaan salinan putusan pengadilan. Pada korban yang meninggal dunia maka penyerahan ganti ruginya pada keluarga atau ahli warisnya.
Restitusi menjadi hal yang bisa memberikan manfaat bagi para korban. Meskipun penderitaan kadang tak bisa ternilai harganya namun setidaknya ini bisa membantu korban. Uang pembayaran ganti rugi bisa bermanfaat untuk pemulihan korban.
[22/12 12.53] panangiansimanjuntak9: Pengertian dan Tujuan Pembayaran Ganti Rugi Korban Pidana
Restitusi memiliki arti pembayaran ganti rugi oleh para ter pelaku tindak kejahatan. Jumlah ganti rugi tersebut sesuai dengan keputusan pengadilan. Kerugian dari korban sendiri tidak hanya berupa materi saja namun juga immateriil.
Tak hanya sebagai kompensasi kerugian korban, pembayaran ganti rugi juga memiliki tujuan lainnya. Berikut penjelasan beberapa tujuan dari pembayaran ganti rugi untuk korban tindak pidana.
Membantu Mengembalikan Kondisi Korban seperti Sebelum Tindak Pidana
Seorang korban bisa menderita berbagai kerugian akibat tindak kejahatan. Misalnya saja jika mengalami serangan fisik, tidak hanya bisa mengalami trauma fisik tapi juga mental. Kondisi korban yang sebelumnya sehat secara fisik dan mental bisa mengalami gangguan akibat tindakan kejahatan. Orang yang sebelumnya bisa bekerja normal dapat terganggu atau bahkan tidak bisa bekerja lagi. Ganti rugi bisa membantu agar korban bisa kembali seperti kondisi semula.
Sebagai Bentuk Tanggung Jawab dari Pelaku
Ganti rugi juga bisa menjadi bentuk dari tanggung jawab. Pelaku tindak kejahatan harus bertanggung jawab atas apa yang mereka lakukan. Tanggung jawab ini tidak hanya berupa hukuman fisik tapi juga dengan mengeluarkan kekayaan untuk ganti rugi pada korban.
Bisa Membantu Pemulihan Korban Baik Fisik Maupun Psikis
Pemulihan korban membutuhkan biaya yang tak sedikit. Ini tak hanya terkait luka fisik tapi juga psikis. Korban seringkali membutuhkan perawatan dari trauma akibat tindakan kejahatan. Adanya uang ganti rugi tentunya bisa membantu pemulihan korban melalui perawatan medis.
Jenis dan Bentuk Restitusi Tindak Pidana
Tak semua jenis tindak pidana bisa ada proses permohonan ganti rugi. Sesuai dengan Perma No. 1 Tahun 2022, permohonan ganti rugi pada korban bisa untuk jenis tindak pidana berupa:
Pelanggaran Hak Asasi Manusia(HAM) yang berat.
Perdagangan orang.
Diskriminasi ras dan etnis.
Tindak pidana terkait anak.
Tindak pidana sesuai Keputusan LPSK.
Sedangkan bentuk pembayaran ganti kerugian korban tindak pidana, antara lain:
Ganti Kerugian Atas Kehilangan Kekayaan atau Penghasilan
Tindak pidana bisa mengakibatkan korban kehilangan kekayaan atau penghasilan. Korban bisa kehilangan harta atau tidak mendapatkan penghasilan seperti sebelumnya. Misalnya korban yang terluka parah tak bisa lagi kerja seperti biasa.
Ganti Rugi Akibat Penderitaan Langsung Baik Materi Maupun Non Materi
Tindak kejahatan bisa mengakibatkan kerugian langsung berupa materi atau non materi. Korban bisa menderita karena kehilangan uang atau penghasilan. Mereka juga bisa mengalami kerugian non materi seperti luka dan trauma.
Penggantian Biaya Perawatan Medis dan/atau Psikologis
Uang ganti rugi bisa membantu memenuhi biaya perawatan korban. Pelaku perlu bertanggung jawab untuk mengganti biaya perawatan akibat tindak pidana.
Kerugian Lainnya Akibat Tindak Pidana seperti Biaya Transportasi, Biaya Pengacara, atau Biaya Lain Terkait Proses Hukum
Korban dan keluarganya perlu mengeluarkan biaya terkait proses hukum pengurusan tindak pidana. Ini juga menjadi bagian kerugian yang pelaku perlu untuk menggantinya.
Proses Permohonan Ganti Rugi Korban Tindak Pidana
PP No. 35 Tahun 2020 mengatur tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban. Pelaku membayar ganti kerugian ini kepada korban atau keluarganya. Tata cara proses permohonan ganti rugi yaitu.
Permohonan Tertulis Menggunakan Bahasa Indonesia
Pengajuan ganti rugi menggunakan permohonan secara tertulis. Pemohon atau kuasa hukumnya menandatangani permohonan lalu mengajukan ke Ketua Pengadilan. Pengajuan ini bisa secara langsung atau melalui penyidik, penuntut umum, atau LPSK.
Orang tua atau wali bisa mengajukan permohonan jika korbannya anak. Jika korbannya lebih dari satu maka bisa melakukan penggabungan permohonan.
Isi dari Permohonan Ganti Rugi
Permohonan ganti rugi memuat detail tentang korban dan uraian tindak pidana. Ini juga berisi detail kerugian apa yang diderita oleh korban. Jumlah ganti rugi juga perlu ada dalam isi permohonan.
Kelengkapan Permohonan Ganti Rugi
Permohonan ganti rugi ini juga menyertakan dokumen kelengkapan. Dokumen untuk kelengkapan permohonan ini antara lain fotokopi identitas, bukti kerugian materiil, bukti biaya perawatan atau pengobatan korban, fotokopi surat kematian, jika korban meninggal dunia, dan lain-lain.
Pemeriksaan Berkas Permohonan oleh Hakim
Penuntut umum wajib menuliskan permohonan ganti rugi ini dalam tuntutan. Hakim akan memeriksa berkas permohonan restitusi lalu memberi penilaian hukum.
Putusan Hakim Atas Restitusi
Putusan hakim terkait permohonan ganti rugi ini memuat pernyataan apakah menerima atau tidak permohonan ganti rugi. Dalam hal ini juga menyebutkan alasan menerima atau menolak, apakah itu sebagian atau seluruhnya. Di dalam putusan tertulis besar pembayaran ganti rugi oleh terdakwa atau orang tua terdakwa.
Jadi putusan hakim terkait permohonan ganti rugi pada terdakwa bisa menerima atau menolak. Jika permohonan tersebut diterima maka selanjutnya terdakwa perlu melakukan pembayaran. Selain terdakwa sendiri, pembayaran juga bisa oleh pihak lain seperti orang tuanya.
Pembayaran ganti rugi pada korban ini paling lambat 30 hari setelah penerimaan salinan putusan pengadilan. Pada korban yang meninggal dunia maka penyerahan ganti ruginya pada keluarga atau ahli warisnya.
Restitusi menjadi hal yang bisa memberikan manfaat bagi para korban. Meskipun penderitaan kadang tak bisa ternilai harganya namun setidaknya ini bisa membantu korban. Uang pembayaran ganti rugi bisa bermanfaat untuk pemulihan korban.
0 Comments
Submit a Comment
Your email address will not be published. Required fields are marked *
Comment *
Name *
Email *
Website
Save my name, email, and website in this browser for the next time I comment.
Submit
[22/12 13.08] panangiansimanjuntak9: Undang-undang yang mengatur kompensasi bagi korban tindak pidana adalah Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2018 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan kepada Saksi dan Korban. Peraturan ini telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2020.
Selain itu, ada juga Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 1 Tahun 2022 tentang Tata Cara Penyelesaian Permohonan dan Pemberian Restitusi dan Kompensasi kepada Korban Tindak Pidana.
Kompensasi adalah bentuk bantuan yang diberikan negara kepada korban tindak pidana jika pelaku tidak diketahui keberadaannya, sudah meninggal dunia, atau tidak mampu membayar ganti rugi.
Jenis kompensasi yang dapat diberikan kepada korban tindak pidana adalah:
Ganti kerugian atas kehilangan kekayaan dan/atau penghasilan
Ganti kerugian yang ditimbulkan akibat penderitaan yang berkaitan langsung dengan tindak pidana
Penggantian biaya perawatan dan/atau pengobatan
Ganti kerugian materiil dan immateriil lain yang diderita korban